TAREKAT SYATTARIYAH
DOSEN PENGAMPU
M.GITO SAROSO,M.Ag
KH. AGUS SUKARMIN,SE. MBA
DI SUSUN OLEH
NAMA : MARFUAH
SEMESTER/KELAS : II/A
JURUSAN/PRODI : SYARIAH/ EI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONTIANAK
TAHUN AJARAN 2013
A.PENDAHULUAN
Tarekat Syattariyah yang merupakan salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses islamisasi di dunia Melayu-Indonesia, sejauh ini diketahui bahwa persebarannya berpusat pada satu tokoh utama, yakni Abdur Rauf al-Sinkli di Aceh. Melalui sejumlah muridnya, ajaran Tarekat Syattariyah kemudian tersebar ke berbagai wilayah di dunia Melayu-Indonesia. Diantara murid-murid Al-Sinkli adalah Syeikh Burhanudin dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat dan Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Keduanya berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di wilayahnya masing-masing.
Bersama-sama dengan tarekat lain, Tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh al-Sinkli dan murid-muridnya tersebut menjadi salah satu tarekat yang mengembangkan ajaran tasawuf di dunia Melayu-Indonesia dengan kecenderungan Neosufisme. Diantara karakteristik yang menonjol dari ajaran Neosufisme adalah adanya ajaran untuk saling pendekatan antara ajaran syariah dengan ajaran tawasuf. Dalam konteks tradisi intelektual Islam di dunia Melayu-Indonesia, ajaran tawasuf dengan corak ini telah menjadi wacana dominan sejak awal abad ke-18, sehingga mempengaruhi hampir semua karya-karya keislamam yang muncul, khusunya di bidang tasawuf.[1]
Gambaran singkat perjalanan tarekat ini sejak lahirnya seperti ini, didirikan oleh Abdullah Asy-Syattar, Muhammad A’la, Muhammad Ghaus dari Gwalior (wafat pada 1562), Syah Wajihuddin (wafat pada 1609), Sibghatullah bin Ruhullah ( wafat pada 1606), Ahmad Syimnawi (wafat pada 1619), Ahmad Al-Qusyasyi (wafat pada 1661), Ibrahim Al Kurani (wafat pada 1689), Abdul Rauf Singkel, Syekh Burhanuddin dan Abdul Muhyi.
Di Nusantara Syeh Abdurrauf menjadi guru utama tarekat ini, dan ia masuk dalam silsilah tarekat yang dibacakan penganut tarekat Syattariyah sampai saat ini. Syeh Abdurrauf memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Nurantara. Ia memiliki murid dari berbagai daerah. Di Sumatera Barat ajaran-ajaran tasawuf As-Sinkili dibawa oleh muridnya Syaikh Burhanuddin Ulakan. Berkat muridnya, Tarekat Syattariyah menjadi tarekat yang sangat berpengaruh di sekitar daerah Pariaman. Sementara di Sulawesi ajaran-ajaran tasawuf As-Sinkili dibawa oleh Syaikh Yusuf Tajul Khalwati Makssar. Di kepulauan Jawa Syattariyah disebarkan oleh muridnya Syeh Abdul Muhyi. Ia belajar kepada As-Sinkili pada saat singgah di Aceh dalam pejalanannya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tarekat ini juga berkembang hingga ke Tanah Melayu yang dibawa oleh muridnya, Abdul Malik bin Abdullah.
Melihat banyaknya murid As-Sinkili dari berbagai daerah di Nusantara tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa tasawuf memiliki peranan penting dalam perkembangan Islam di Nusantara pasca melemahnya kerajaan Aceh Darussalam. Sebab pada masa itu, murid menjadi ujung tombak dalam penyebaran Islam. Saat ia telah “tamat” belajar pada guru tertentu, ia akan mencari guru lain atau pulang ke daerahnya dan menyebarkan ilmu keislaman di sana. Ini juga yang terjadi pada murid-murid As-Sinkili. Dengan jalan inilah pengaruh tasawuf yang diajarkan As-Sinkili menjalar ke seluruh Nusantara.
B. PEMBAHASAN
1. MELACAK AKAR HISTORIS
Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M. artinya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, dapat dianggap sebagai hal yang baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa nabi. Tidak heran jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbahkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah masa nabi.
Demikian halnya dengan Tarekat Syatariyah, nama Syatariyah dinisbahkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari (w.890 H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), ulama yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.[2]
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Insyiqiah sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid Al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktek.
Nisbah Asy-Syatar yang berasal dari kata Syatara artinya membelah dua dan nampaknya dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati dalam zikir nafi itsbat, La ila (nafi) dan ilaha (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya, yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan wewenang sebagai washitah (Mursyid).
Namun karena popularitas tarekat isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, Abdullah Asy-Syatar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah Asy-Syatar, Tarekat Syatariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad Al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syatiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1563 M), dan merupakan khalifah syattariah yang paling berhasil memapankan doktrin dan ajaran tarekat syattariah melalui berbagai karangannya.[3]
Tradisi tarekat yang bernafas India dibawa ke tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibgatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihudin dan mendirikan zawiyah di Madinah. Tarekat ini kemudian disebar luaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina Ahmad al-Qusyasyi. Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syattariyah yang terkenal di wilayah Madinah.
Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syatariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf Singkel, telah ada seorang toko sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila Ar-Ruh An-Nabi, sebuah karya yang relative pendek tentang Wahdat al-Wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid Wajihuddin.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan, di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyahlah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
2. AJARAN ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH
Di dalam naskah Syattariyah karangan Syeh Abdurrauf, disebutkan tentang adab berzikir dan bentuk-bentuk lafal zikir. Pelaksanaan zikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi, mutawasitah, dan muntahi. Mubtadi artinya ‘tingkat permulaan’; mutawasitah artinya ‘tingkat menengah’; dan muntahi artinya ‘tingkat terakhir’: Khusus mengenai tataran terakhir ini, di dalam teks dibicarakan secara panjang lebar.
Dikatakan bahwa tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat: yaitu makrifat tanziyyah dan makrifat tasybiyyah. Makrifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat discrupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya. Dan makrifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengitikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur’an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.
Dalam kitab al-Simt al-Majid, syaikh Ahmad al-Qusyasyi, kholifah Tarekat Syattariyah di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntunan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan dan tata tertib menjadi anggota tarekat, serta juga berisi tuntunan dan tata cara zikirnya.
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqoddimah, sebagai sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syatariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai kepada Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.[4]
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Q. S al-Mukminun ayat 17 yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”. Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmu yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni:
a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain;
b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain; dan
c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
3. AJARAN-AJARAN TAREKAT SYATARIYAH
Adapun ajaran Tarekat Syatariyah yang berkembang di Nusantara yang dibawa oleh Abdul Rauf Singkel, ajarannya dapat dikelompokkan kepada tiga bagian:
a. Ketuhanan Dan Hubungannya Dengan Alam.
Dalam naskah syattariyah yang ditulis syekh al-sinkli dijelaskan bahwa Hubungan antara Tuhan dengan alam menurut pandangan Syattariyah dijelaskan sebagai berikut: pada mulanya alam ini diciptakan olch Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A’yan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Khrijiyah (kenyataan Tuhan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang; dan ia tiada lain daripada-Nya.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh antara lain pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari scorang saja. Perumpamaan kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan tetapi ia tangan itu juga. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada Dzatnya dan hapus di dalam keesaannya. Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya): yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa l-kullu Huwa l-Haqq, artinya ‘Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar’.
b. Insan Kamil atau Manusia Ideal.
Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya. Manusia merupakan penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensinya, yang sebenarnya manusia adalah esensi sifat dan nama-Nya. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang insan kamil meliputi masalah: pertama; masalah Hati, kedua; kejadian manusia yang dikenal dengan A’yan Khorijiyyah dan A’yan Tsabitah, ketiga; akhlak Takholli dan Tajalli.
c. Jalan Kepada Allah.
Dalam hal ini Tarekat Syatariyah menekankan pada rekonsiliasi Syari’at dan Tasawuf, yaitu memadukan Tauhid dan Dzikir. Tauhid ini memiliki empat martabat, yaitu Uluhiyah, Tauhid Sifat, Tauhid Dzat, dan Tauhid Af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimat La Ilaha Illa Allah.
Oleh karena itu kita hendaknya memesrakan diri dengan La Illaha Illa Allah. Begitu juga dengan dzikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyaf) guna bertemu dengan Tuhan. Dzikir ini dimaksudkan untuk mendapatkan al-Mawat al-Iktiariyah (kematian sukarela) yang merupakan lawan dari al-Mawat al-Tabi’i (kematian alami). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syariah.
4. SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para washitah yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Ø Sanad Shaikh Burhanuddin Ulakan
Shaikh Burhanuddin Ulakan Shaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi shaikh Ahmad al-Qushashi Shaikh Ahmad al-Shinawi Sayyid Sibgat Allah Shaikh Wajih al-Din al-‘Alawi Muhammad Gauth al-Hindi Shaikh Haji Huduri Shaikh Hidayat Allah al-Sarmasti Al-Imam Qadi al-Shattari Sayyid Muhammad ‘Arif Muhammad ‘Ashiq Shaikh Hadaqili al-Mawiri Al-Qutb bin Hasan al-Hirqani Shaikh Abi al-Muzaffar al-Tusi Shaikh al-‘Arabi Yazid al-‘Ishqi Shaikh Muhammad al-‘Magribi Abu Yazid al-Bustami Imam Ja’far al-Sadiq Imam Muhammad al-Baqir Imam Zayn al-‘Abidin Imam Husayn Imam Ali ibn Abi Thalib Nabi Muhammad Saw.[5]
Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’ (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
KRITISASI TAREKAT SYATTARIYAH
Tarekat Syattariyah ini di terima oleh kalangan Nahdatul Ulama (NU), di dalam ajaran tarekat syattariyah ini lebih menekankan pada pengucapan Tahlil yang di tujukan untuk mengagungkan asma Allah dan keindahan Allah. Dalam lafal tahlil ini di ucapkan setelah solat Isya’ dan Subuh sebanyak 100 kali dalam setiap harinya.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurahman,Oman. 2008.Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media Group
Anwar,Rosihon dan Muchtar Salim. 2004. Ilmu Tasawuf .Bandung: CV. Pustaka Setia
Abdullah,Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas
www.Sufinews.com
[1] Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (2008,hal. 9)
[2] Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (2008,hal.28)
[3] Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (2008,hal.29)
[4] Oman Fathurahman, Tarekat Syattaryah di Minangkabau (2008,hal.180)
[5] Oman Fathurahman,Tarekat Syattariyah di Minangkabau (2008,hal.173)